Matahari menrobos masuk ke dalam kamarku dan menyinari seisi ruangan. Dari kamar sebelah terdengar teriakan, "Horee.. liburan udah dateng!". Itu pasti adikku Risa. Akupun beranjak dari tempat tidur dan mengetok pintu kamarnya. Belum sempat berkata apapun dia langsung mengusirku dan menyuruhku bersiap - siap. Aku kemudian mengikuti perintahnya dan menepati janjiku padanya. Walaupun sebenarnya aku sedikit kesal dengan semangatnya.
Pukul 9 pagi kami berangkat menggunakan taxi yang kami pesan menuju pertokoan baru di kota kami. sesampainya di sana tidak ada satupun orang di pertokoan tersebut, satupun toko tidak buka. Lalu akupun memarahi Risa, dia terlihat sedikit menyesal. Lama kami menunggu akhirnya pintu pertokoan itu dibuka oleh satpam. kami masuk ke dalam dan otomatis saja kami menjadi pengunjung pertama pertokoan tersebut.
Berjam-jam kami memutari pertokoan itu. Alhasil 7 tas kresek berada di kedua tanganku sementara adikku membawa belanjaan yang lebih sedikit dariku. Karena hanyut dalam suasana, akupun lupa menyisakan uang untuk menyewa taxi pulang. Setelah bertengkar kecil dengan Risa, kamipun terpaksa pulang dengan berjalan kaki.
Panas dan haus sekali rasanya. Sedikit lagi gumamku dalam hati. Kami sudah berada dekat dengan rumah sekitar lagi 600 meter. Saatnya menyebrang, kendaraan yang ramai membuatku tidak konsentrasi. Saat aku berada di ujung jalan aku teringat aku lupa menggandeng adikku. "Aduh Risa ketinggalan lagi!". Risa yang panik karena tertinggal berusaha menyusulku tanpa melihat keadaan di sekitarnya. Aku tidak berani melihat apa yang akn terjadi. Aku menutup mataku dan mendengar suara rem mobil yang mendadak. Aku membuka mataku secra perlahan, di tengah jalan terlihat ceceran darah. Kau sangat tidak percaya dan reflek saja aku berteriak. Banyak orang telah berkerumun di depan adikku tang terbaring di jalan, mereka memindahkannya ke pinggiran jalan. Aku langsung menelepon ponsel mama dan papaku.
Secepat angin berhembus, secepat itu pula mama dan papaku datang yang masih menggenakan pakaian kantor. Kemudian kami membawa Risa ke rumah sakit terdekat. Dokter memeriksanya dengan teliti di ruang IGD. Kami sangat panik dan aku khususnya sangat menyesal juga bersalah. Dokter datang dengan membawa kabar. "Anak bapak dapat kami tolong, namun kami ingin meminta persetujuan untuk mengamputasi kaki kanannya.", papaku sangat shok dan terpaksa menyetujuinya untuk yang terbaik. Aku dan mamaku tidak dapat membayangkan perasaan Risa saat ia sadar nanti.
Aku terus menemaninya di ruang pemulihan. Matanya perlahan terbuka. Dia merasakan aneh di kakinya. Mama melarang Risa membuka selimutnya, namun dia tetap bersikeras. Sebentar dia melihat kakinya, kemudian dia langsung berbaring lagi di tempat tidur, air matanya mulai bertetes deras. Aku dan mamapun menyemangatintya. Semua karenaku, aku terus minta maaf padanya, namun dia tetap berkata ini salahnya. Salah siapapun aku tidak peduli, aku berjanji akan menjaganya lebih baik lagi.
Pukul 9 pagi kami berangkat menggunakan taxi yang kami pesan menuju pertokoan baru di kota kami. sesampainya di sana tidak ada satupun orang di pertokoan tersebut, satupun toko tidak buka. Lalu akupun memarahi Risa, dia terlihat sedikit menyesal. Lama kami menunggu akhirnya pintu pertokoan itu dibuka oleh satpam. kami masuk ke dalam dan otomatis saja kami menjadi pengunjung pertama pertokoan tersebut.
Berjam-jam kami memutari pertokoan itu. Alhasil 7 tas kresek berada di kedua tanganku sementara adikku membawa belanjaan yang lebih sedikit dariku. Karena hanyut dalam suasana, akupun lupa menyisakan uang untuk menyewa taxi pulang. Setelah bertengkar kecil dengan Risa, kamipun terpaksa pulang dengan berjalan kaki.
Panas dan haus sekali rasanya. Sedikit lagi gumamku dalam hati. Kami sudah berada dekat dengan rumah sekitar lagi 600 meter. Saatnya menyebrang, kendaraan yang ramai membuatku tidak konsentrasi. Saat aku berada di ujung jalan aku teringat aku lupa menggandeng adikku. "Aduh Risa ketinggalan lagi!". Risa yang panik karena tertinggal berusaha menyusulku tanpa melihat keadaan di sekitarnya. Aku tidak berani melihat apa yang akn terjadi. Aku menutup mataku dan mendengar suara rem mobil yang mendadak. Aku membuka mataku secra perlahan, di tengah jalan terlihat ceceran darah. Kau sangat tidak percaya dan reflek saja aku berteriak. Banyak orang telah berkerumun di depan adikku tang terbaring di jalan, mereka memindahkannya ke pinggiran jalan. Aku langsung menelepon ponsel mama dan papaku.
Secepat angin berhembus, secepat itu pula mama dan papaku datang yang masih menggenakan pakaian kantor. Kemudian kami membawa Risa ke rumah sakit terdekat. Dokter memeriksanya dengan teliti di ruang IGD. Kami sangat panik dan aku khususnya sangat menyesal juga bersalah. Dokter datang dengan membawa kabar. "Anak bapak dapat kami tolong, namun kami ingin meminta persetujuan untuk mengamputasi kaki kanannya.", papaku sangat shok dan terpaksa menyetujuinya untuk yang terbaik. Aku dan mamaku tidak dapat membayangkan perasaan Risa saat ia sadar nanti.
Aku terus menemaninya di ruang pemulihan. Matanya perlahan terbuka. Dia merasakan aneh di kakinya. Mama melarang Risa membuka selimutnya, namun dia tetap bersikeras. Sebentar dia melihat kakinya, kemudian dia langsung berbaring lagi di tempat tidur, air matanya mulai bertetes deras. Aku dan mamapun menyemangatintya. Semua karenaku, aku terus minta maaf padanya, namun dia tetap berkata ini salahnya. Salah siapapun aku tidak peduli, aku berjanji akan menjaganya lebih baik lagi.
0 komentar:
Posting Komentar